Friday, February 4, 2022

Lagi - lagi, kau Monalisa

 Di pojok kasur kamar sepetak yang penuh dengan rak buku, dan sejumlah kesumpekan kapal pecah ruang kamarku, aku mencoba untuk menulis hal ini lagi-lagi tentangmu, Mon


Pada siang ini aku di kota  di landa demam. Hujan baru saja reda ketika saja aku menulis surat ini. Segala tentang kota hari ini memang penuh dengan demam, entah demam asmara atau demam tentang luka kehidupan di kota.  Aku tahu percis bahwa kau benci akan hal demam, katamu waktu itu.  Demam katamu membuat sistim imun kita tergoncang lemah, seperti layaknya kemiskinan yang membuat sistim perbudakan semakin lancar dan berjalan mulus. Kau juga yang bilang bahwa kemiskinan adalah neraka dunia, tak perlu menunggu hari akhir untuk menebus dosa, kemiskinan sudah menjawab semuanya.


Seperti hal nya kemiskinan, demam pun memberikan kita dampak sistim perbudakan terhadap penyakit dari apa yang kita stimuluskan. Antara lain, demam asmara, yang tak kunjung usai, Mon.


Tapi Mon, sejauh demam yang kujalani, demam memiliki seribu arti, kini aku yang di landa demam tak bergairah untuk melakukan kegiatan lain selain menulis dan membaca, menulis apa saja dan membaca apa saja membuatku hidup lebih memiliki arti Mon, meskipun wajah ku sudah memiliki coreng hitam bagi pandangan orang sekitarku, pandangan tentang hitam dan putih pada diriku barangkali bukan kewajiban ku untuk mengubahnya , bukankah kau sendiri juga pernah menyatakan bahwa hiduplah sesuai dengan apa yang ingin kau hidupi, jangan menghidupi apa yang ingin orang lain hidupi, aku masih ingat pernyataan itu Mon, jiwaku kekal ketika mendengar pernyataan pernyataanmu.


Kembali soal kota, aku disini sedikit memiliki rasa demam pada hidup, bagaimana kabarmu disana? seharusnya tak perlu ku tanyakan kabar tentangmu, kau akan selalu baik dan hidup, suaramu tetap merdu dan anggun, aku mencintaimu seperti aku mencintai raga sendiri, baik - baiklah dalam hari harimu Mon, doa selalu ku panjatkan untukmu, tak ada alasan untuk melenyapkan segala doa tentangmu, dalam kondisi mabuk ataupun tidak, dalam kondisi lapar ataupun terpenuhi, ku yakin sang kuasa punya arti tersendiri tentang doa.


Sudah dulu ya Mon, ada beberapa surat lagi yang harus kutulis untukmu, barangkali seribu surat tak akan mampu mengungkapkan segala rasa demamku padamu.


Selamat petang Mon, hidup dan tumbuhlah, cinta adalah akar yang mungil, hiduplah seperti tanah yang subur senantiasa akar itu akan tumbuh subur pada tapak kuat tanahmu.


Selamat berakhir pekan Mon, cinta tuhan dalam genggamanmu. Maafkan lah diriku yang akan selalu demam tentangmu.




No comments:

Post a Comment

Maka, kau harus Maluku untuk mencintaiku

 Oleh temanku, Rahmat Hidayat Madubun (Sombanussa) Pagi ketika aku terbangun, ketika pintu terbuka,jendela terbuka, aku masih tekun merindui...