Ku dengar lagi, raut datarmu membuatku rancu
luka kali ini datang dari asap yang membumbung di tubuhku
malam itu kau pergi lagi dan ku diam kan saja
kubiarkan kau terbang bersama mataku yang temaram.
Di dalam puisi, aku menjadi buta dan bersemayam.
Mungkin, aku hanyalah orang yang terlalu berlebihan untuk sesuatu hal, sampai rasanya aku terlalu fokus untuk meraih puncak gunung, padahal.. katanya pemandangan di sekitar bukit sudah cukup indah, dan sudah aku ketahui itu, namun masih saja aku memburu puncak sampai tak terhingga.
Seperti pepatah orang mengatakan bahwa "Puncak adalah bonus." Ya, memang.
Acap kali kita ketika mendaki, tujuan akhir adalah puncak, bukan keselamatan diri kita sendiri.
Padahal, tanpa kita meraih puncak pun, puncak akan tetap ada dan tidak kemana-mana.
Meraihmu adalah bagaikan mendaki gunung untuk mendapatkan puncak, untuk sampai kesatu tujuan tersebut, aku harus melewati jalur terjal, dan itu bagaikan perjuanganku untuk mendapatkanmu.
Jika sewaktu-waktu kakiku terkilir karena cidera, itu bukan karena semata-mata persiapanku kurang untuk mendakimu, juga bukan tidak bisa meraih puncak yang aku tuju, tapi adakalanya Tuhan merencanakan sesuatu yang tak terduga kepada yang diciptanya, agar tidak terjadi sesuatu hal ketika menuju sana.
Bagaimanapun juga, kau tetap indah untuk siapapun pengagummu. Akan ada ratusan bahkan ribuan orang yang datang sesekedar singgah untuk mencapai puncakmu. Kau tak perlu khawatir itu.
Hari itu, aku memutuskan untuk balik arah dan tidak meraih puncakmu, bukan berarti aku tidak kuat untuk perjuangkan meraih puncakmu, namun kehendak Tuhan siapa yang tahu?
Setiap waktu yang berjalan, memang tidak akan bisa di ubah, namun waktu yang akan datang bisa kita raih dengan cara yang lebih baik lagi
No comments:
Post a Comment