Atas nama alam semesta, reguklah seluruh udara yang Tuhan limpahkan untukmu, hirup sedalam-dalam yang kau mampu, dan nikmati setiap lekuk kenikmatan, ketika deru nafas mulai mengembang-kempiskan dadamu, yang senantiasa membuatmu tetap hidup.
Lalu cumbui dinginnya hujan, yang berlari membasuh wajahmu, turun seketika, menyelinap masuk diserap bumi, hingga tanah pun menghembuskan aroma kehidupan, yang sedari dulu kau rindukan.
Hidup memang sudah seharusnya seperti itu, bersulang dalam bahagia, yang kerap membuatmu tertawa renyah, terasa hangat dan terlihat begitu mempesona.
Sayangnya, ketidaksabaran Tuhan, seringkali membuatmu terpaksa menanggung sejuta perih yang mendidih, begitu terik dan menyesakkan, mengupas jiwamu selapis demi selapis, hingga kau terlalu lelah, bahkan hanya untuk sekedar bermimpi.
Dan ketika kau coba berteriak, menangis sekencang-kencangnya, kenyataan masih saja seperti itu, selalu sama, tak bergeming sama sekali. Sungguh, Ketidakberadaanmu, membuat hidup terasa terlalu panjang untuk dilalui.
Terkadang, saya terpaksa harus sesekali berhenti, meretas letih yang semakin sering terasa, disela-sela perjalanan, yang kian hari makin terasa membosankan. Masih terlalu banyak persimpangan didepan sana, dan sialnya, semua terlihat sangat sama.
Konon, hidup bisa terasa sedikit lebih indah, ketika kau tak menyimpan terlalu banyak harap.
Saya senantiasa menganggap yang pernah hadir dalam hidup saya adalah yang terbaik, meski akhirnya ada rasa sakit yang tertinggal.
Saya tidak pernah membandingkan satu dengan yang lainnya, karena saya juga tidak mau di bandingkan. Setiap manusia itu istimewa karena di ciptakan sebagai penyeimbang dan pelengkap satu sama lainnya.
Dan kini, saya telah sandarkan semua mimpi dan harapan yang tersisa, disini, pada malam yang mencumbu hujan.
No comments:
Post a Comment