Beberapa tahun silam, saya pernah mempunyai sebuah rumah impian, segala rancangan yang saya mau, kebunnya luas, tanaman nya indah, di buat kuat, dirancang muat, lega.
Saya bangun rumah itu begitu istimewa, didalamnya saya taruh beberapa lukisan indah dan vas bunga yang berisikan bunga yang tampak harum ketika kita hendak masuk.
Lalu, perlahan saya memberanikan untuk mengajak orang itu untuk menetap disana, awalnya saya ajak dia didekat pekarangan rumah, lalu masuk kedalam ruangan, dan mencoba untuk negoisasi dengan saya untuk menetap.
Seluruh ruangan saya berikan keistimewaan itu padanya, ia berusaha untuk mengganti semua lukisan itu lebih menjadi berwarna, begitupula dengan vas bunga dan wangi-wangian yang menurutnya itu lebih harum lagi untuk kenyamanan kita ketika hendak pulang.
Ia berusaha untuk memberikan rumah itu tempat nyaman untuk saya, padahal itu rumah saya, namun sebegitu percaya nya saya untuk berusaha memberikan bahwa ia bisa merawatnya, di ruangan tengah adalah tempat favorit kita untuk terus bercengkrama ketika letih sehabis pulang kerja, sekedar memberikan motivasi untuk masing-masing dengan hari yang panjang.
Suatu ketika, saat saya hendak pulang, saya ketuk pintu rumah itu, tidak ada satupun orang yang menjawab. Saya bingung, kenapa dia tidak ada di dalam rumah itu, kunci nya ia bawa, padahal itu rumah tinggal saya untuk pulang. Lalu saya mencarinya, tidak ada satupun jejak yang tertinggal, hanya ada lukisan, wangi-wangian, dan vas bunga yang pernah ia ubah dan tetap tinggal ketika saya lihat dari jendela yang sudah dirusak nya.
Bertahun-tahun saya mencarinya, saya berkelana jauh dari rumah tinggal impian saya, melewati waktu panjang di luar rumah, menemui moment tak terduga, melihat keluh kesah orang pulang kerja di bus, itu semua untuk mencari dan menemuinya untuk meminta kunci rumah itu agar saya bisa kembali pulang.
Disuatu persimpangan, saya letih mencarinya sampai saya benar-benar harus istirahat sebentar. Saya duduk ditrotoar dekat tukang kunci duplikat sambil memesan minum untuk sekedar melepas dahaga. Lalu ada seseorang menjumpai saya dan berkata "Mas, saya lihat setiap hari mas muter-muter lewat sini, sebetulnya ada apa ya, apa saya biaa bantu?" ternyata itu adalah wanita yang menjual kunci duplikat di sebuah trotoar tempat saya melepas dahaga. Lalu saya menengok dan berusaha untuk menjawab "Saya lagi cari orang yang membawa kunci rumah saya yang dia bawa, namun saya mencarinya tidak ketemu bertahun-tahun." Jawab saya. Ia pun sesegera mungkin menjawab "Wah mas terlalu kuno untuk seorang mas yang terlihat modern, kan bisa pesan kunci duplikat di saya mas." Percakapan sore itu sepertinya berlanjut ketika saya berhasil menemukan solusi untuk menduplikat sebuah kunci rumah saya yang selama ini saya cari, sampai akhirnya kita bercengkrama lebih lama bukan hanya mengenai kunci saja.
Setelah saya berhasil mendapatkan kunci duplikat tersebut, akhirnya setelah bertahun-tahun saya meninggalkan rumah itu, saya kembali dan membuka rumah impian saya yang mulai terlihat lapuk dimakan usia, dari luar tanaman belantara sudah mulai melekat dengan tembok rumah saya, sambil melihat beberapa isi rumah yang sudah mulai berantakan karena tidak mampu lagi menahan lapuknya paku-paku penyangga.
meninggalkan sebuah rumah impian yang begitu berantakan dengan jeda waktu yang begitu lama, isinya tidak lagi bisa di bereskan, beberapa lukisan terlihat tertumpuk pudar di tepian rak dengan vas bunga yang mulai retak, saya masuk ke ruanga tempat favorit kita dulu bercengkrama, begitu amat tidak kondusif, tapi ada satu hal yang membuat saya pahit, wangi-wangian yang pernah ia taruh di sana, masih tetap harum untuk hidung saya yang mulai awam akan hal itu.
Ketika saya sedang capek membereskan rumah saya yang begitu berantakan, datanglah sesosok wanita tukang kunci duplikat yang kemarin lanjut percakapannya tidak hanya mengenai kunci saja, dia menawarkan untuk menbantu saya untuk membereskan rumah tersebut. Awalnya, saya menolak. Karena isi rumah saya, saya lah yang bertanggung jawab untuk membereskan, namun karena berantakan nya tidak begitu kondusif, saya memperbolehkan wanita itu untuk membantu membereskan, sampai rumah itu benar-benar kembali rapih seperti apa yang saya impikan.
Di jeda kita sudah berhasil untuk merapihkan semuanya, didepan teras dengan bale berisi kopi hitam dan gorengan seadanya, saya bilang kepadanya, bahwa dulu pernah ada yang memasuki rumah impian saya, menetap disini, mengubah semuanya menjadi lebih nyaman, namun tiba-tiba ia pergi dan membawa kunci itu yang membuat saya bertemu dengan kamu.
Wanita itu berkata, sekarang ia mengerti kenapa bertahun-tahun rutinitas saya mengulang melewati trotoar itu, sampai akhirnya ia menawarkan untuk berusaha memberi bantuan untuk merawat rumah saya, agar tidak seperti diawal.
Mendengar hal tersebut, saya menolak bantuan wanita itu untuk membantu saya merawat rumah itu, Lalu saya berkata: sebab saya selalu mengambil sebuah pelajaran dimana, ketika kalian mempunyai rumah, dan ada orang yang hendak menetap di rumah itu, setidaknya jangan kalian kasih keleluasaan untuk ia mengubah segalanya, apalagi memberikan kepercayaan untuk memegang kunci rumah itu, karena ketika kalian pergi, dan berusaha kembali kerumah itu, kalian tidak akan pernah bisa masuk kembali dan tidak akan mengenal rumah itu lagi.
Kini rumah impian itu kembali rapih, namun tidak seperti semula yang saya inginkan. Walaupun saya tidak banyak mengenal lagi rumah itu, namun izinkan lah saya untuk menetap sendirian, sambil memilih siapa yang berhak tinggal dan menetap dirumah ini, tanpa pergi dan membawa kunci begitu saja
Sekian