Langit sore Jakarta menggantung seperti kain basah—bergeming dan tampak berat. Sejak sebelum meninggalkan toko, saya sudah ketahui sebelumnya, bahwasanya hujan sepertinya akan turun dalam kurun waktu tidak akan lama lagi.
Langkah saya pun waktu itu pelan, payung kecil dalam genggaman bergetar bak menahan angin. Jalanan lengang, becek, berlubang dan sesekali sunyi meski banyak terlihat beberapa orang berkelompok menaiki tiap-tiap bus bersama atribut kesayangannya.
Entah bagaimana, tidak seperti biasanya tiap rintik yang berpulang ke tanah sore itu terasa seperti pelukan yang jatuh dari langit—dingin, sambil sedikit bergumam kesal karena hujan tak tahu porsinya kala itu. Karena seharusnya, hari itu saya akan berlomba bersama waktu untuk mendatangi Jakarta International Stadium, tempat Persija dijadwalkan akan menjamu tamunya, Maluku united dalam pertandingan terakhir.
Dalam perjalanan, terkadang saya menunduk, tak tahu mengapa hari itu perasaan tak teratur, sambil sesekali mencoba menghitung tetes air diujung ruas jari. Kendatipun pikiran saya sibuk mengulang percakapan pelanggan yang siang tadi membandingkan bagaimana Persib bisa lebih baik musim ini dengan senyum seseorang yang katanya ia rindukan. Begitu naif rasanya, jika saya tak merasa cemburu, karenanya saya sudah sematkan jauh jatuh hati terhadap klub ini, apapun perasaan nya. Raut muka saya kala itu bertekuk seperti kursi dalam toko ketika mendengar cerita pelanggan saya dengan persib nya.
Mendengar curhatan pelanggan saat di toko, saya seolah mengerti perasaannya saat itu. Memberikan pikiran saya yang jauh lebih keras berfikir, "kenapa bisa?" namun hembusan nafas saya saat itu, sedikit memberikan rileks dari overthinking yang saya rasakan.
Disela-sela perjalanan, ketika hati saya tengah sibuk membungkus satu kenangan Persija tempo lalu dengan plastik hitam, datanglah mobil itu—cepat dan abai. Air kecoklatan yang tergenang di tepian trotoar dekat sadion, seketika meledak layaknya meriam kecil, dan saya, menjelma menjadi sasaran yang tak berdaya. Pelaku sudah berlalu begitu saja; menghilang dari jangkauan mata. Dengan sepatu dan celana basah karena cipratan orang kaya baru nan sombong saat itu, melengkapi hari yang sepertinya tidak begitu mengenakan yang saya alami dalam menuju perjalanan menonton Persija.
Sesampainya di Stadion, saya hampa. Tak terasa terfikirkan untuk menghubungi beberapa kerabat, rekan sekorwil, atau kekasih yang mungkin saya nantikan saat itu, yang pada biasanya sudah sibuk saat ketika Persija ingin tanding. Bahkan WhatsApp grup kalau bisa di buka mungkin sudah tahap dalam angka 100 chat tak terbaca sepertinya. Namun kala itu, semua hilang, sepi tak ada lagi antusias yang sama, bak ditelan bumi. Suatu keadaan yang tidak pada biasanya, yang sedikit merobek antuias saya yang patah.
Ruas jalan sekitar stadion pun juga terlihat seperti tidak pada biasanya, tak ada gerombolan orang yang beratribut seperti sebelum-sebelumnya, yang terlihat hanya beberapa pedagang kaki lima yang menjajakan dagangannya yang berharap ada beberapa suporter membeli dagangan yang mulai tidak terpilihkan.
Apakah mereka sudah tidak ada gairah?
Apakah waktu mereka berbenturan dengan tanggung jawab mereka?
Apakah harga tiket tidak dapat menyesuaikan keadaan kantong dicelana?
Atau, tuntutan ekspektasi mereka jauh dari harapan. Sehingga suasana hari itu tak ramai seperti pertandingan biasanya?
yang jelas, hujan disore itu membuat tumpukan lamunan harap banyak orang, bukan hanya saja saya, tapi dari doa-doa mereka yang menginginkan Persija ditempatkan pada suatu tempat yang lebih layak.
Kita ketahui, musim ini Persija tak ada lagi memberikan pelayanan haus ekspektasi fans. Target manajemen pun tak pernah ada kejelasan, membeli pemain juga seperti halnya membeli kucing dalam karung, dan yang terparah, suara mereka sebagai tulang punggung dari jalannya sebuah bisnis di sepak bola tak lagi ada diperdengarkan, sekedar memberikan ruang pertanyaan saja, Persija tidak mampu untuk itu. Mereka tutup telinga bahkan tutup mata, tak ada namanya merangkul perasaan kecewa yang timbul dari suporter, selaku garda paling depan penunjang eknomi klub.
Pluit dibunyikan, penanda bahwa pertandingan segera dimulai. Seperti biasanya, langkah pemain begitu berat, entah apa yang sedang dirasakan, yang jelas pertandingan kala itu melengkapi setiap kebosanan kala Persija tanding, itu juga yang saya rasakan diatas tribun. Perasaan gelisah, kekhawatiran hasil buruk, dan pewajaran-pewajaran atas pengulangan-pengulangan kesalahan yang di normalisasi.
Malam itu, pertandingan tak berjalan mulus. Ditengah-tengah perjalanan, pertandingan harus terhenti, karena parade phyro show yang sudah di lakukan fans sebagai bentuk kecewa terhadap manajemen dan Persija. Kegelisahan itu juga semakin memuncak, ketika pemain, official team berusaha menghampiri, bukan manajemen ataupun owner. Padahal, dalam teori komunikasi 2 arah, seharusnya manajemen dan owner lah yang bijak untuk berhak menjawab akan hal ini.
Hari itu, pertandingan dinyatakan selesai, lagi-lagi, Persija tidak mampu memberikan hasil terbaik dipertandingan terakhir. Beribu wajah kesal dengan gumaman caci terpangkal tetap dari mereka yang hadir di malam itu. Seperti sia-sia yang tiada arti, jawaban mereka belum juga didapatkan dengan puas.
Ketika lampu-lampu itu mulai dipadamkan, pasang silih berganti orang-orang perlahan keluar dari lorong tribun, sambil sesekali menendang botol yang berserakan di selasar.
"Anjing, kalo tadi begini ngapain gue bela-belain dateng hujan-hujanan pulang kerja."
Terdengar umpatan seorang fans di sebelah saya, saya bergumam dengan sendirinya. Mungkin saja itu bisa di rasakan semua yang datang kala itu, termasuk saya sendiri yang tadi hadir dengan memperjuangkan kedatangan diri saya sehabis pulang kerja.
Saya semakin bingung, mungkin sudah tak lagi terbendung. Bagaimana bisa saya secinta ini dengan sepak bola? Yang pada awalnya, sepak bola hanya saya jadikan sebagai pelarian atas kepenatan kota dan hidup, sepak bola telah saya cantumkan sebagai hiburan, namun pada kenyataan nya sekarang, justru sepak bola adalah penanggung jawaban atas beban emosional saya sendiri.
Saat kecil, sepak bola terlepas Persija, saya hanya mengetahui bahwa permainan itu dilakukan oleh 11 orang melawan 11 orang, akan tetapi saat saya beranjak dewasa permainan sepak bola sudah bertransformasi lebih dari itu, terlepas apapun yang saya ketahui sekarang tentang sepak bola itu sendiri, pada kenyataan nya, sepak bola hari ini bukan hanya permainan sederhana 11 melawan 11, tapi juga ada sematan kekhawatiran pikiran kita melawan diri kita sendiri yang tidak bisa melepaskan sepak bola dari jalan hidup.
Musim ini adalah musim paling buruk yang saya rasakan mengenal Persija. Meskipun dalam table klasemen, secara factos musim ini masih lebih unggul dibandingkan dengan bertengger di posisi ke 7 dari beberapa musim terburuk Persija sebelumnya. Namun, ada satu hal yang justru memperburuk, ketegasan manajemen, persuasifnnya mereka menanggapi kritis suporter, tidak di barengi dengan beberapa sematan loyalitas yang mereka limpahkan, itu adalah hal sederhana namun musim ini Persija tidak bisa
Mereka mempersilahkan orang silih berganti untuk datang kestadion. Mereka mengamini bahwa yang setia akan tetap tinggal dan yang lelah biarkan pergi. Namun pada hakikatnya, tidak pernah ada satu pemikiran bahwa mereka akan meninggalkan Persija apapun keadaannya, jika perasaan kecewa itu dilakukan dengan kehangatan rangkulan yang dilakukan Persija itu sendiri
Mencintai Persija adalah hal yang fana, namun Persija tak pernah ada sematan dari sebuah kata mantan. Mereka selalu hadir apapun keadaan nya. Bukan tentang soal waktu, bukan tentang soal jarak, apalagi tentang tingginya harga tiket. Tapi, bagaimana kedudukan status yang seimbang yang seharusnya dilakukan Persija dalam merangkul suporter setianya.
Dalam langkah lelah saya menuju kepulangan ke rumah, saya kembali merekam ucapan pelanggan saya saat kerja di toko sebelum datang ke stadion. Pada dasarnya,kita belum bisa sama-sama beranjak dalam hal yang satu. Itu yang mungkin, dilakukan oleh mereka disana, cerita yang saya tangkap dari pelanggan saya diatas.
Akhir kata,
Sepak bola bisa beranjak menjadi apapun yang dimau. Menjadi emosi, menjadi tumpukkan uang, menjadi klimaks, gemerlapnya ketenaran dilapangan, cinta yang buta, dalam nya benci dan ringkih, serta suara-suara yang lirih. Namun, dalam kesempatannya, saya memilih yang terakhir sebagai seorang fans sepak bola.
Getwelsoon, Persija