Sepertinya, sepi itu membunuh,
menghimpit paru-parumu terlalu kencang,
disela selang yang kau hirup dari gelombang oksigen yang kau hisap, sampai kau lupa bagaimana caranya bernafas.
Ujung dadamu selalu terasa kian sesaknya, hingga terkadang kau tak pernah sadar, matamu sudah berkabut, yang pada akhirnya berlumuran air mata sambil menyaksikan keadaan penuh duka di ruang tempat mereka berharap.
Pada tiap waktu,
Pada tiap dokter yang berjaga,
Pada tiap doa-doa yang di lantunkan keluargamu,
Juga teman-teman baikmu.
Sungguh, sepi tak pernah bisa terasa sederhana, kerap kali membuatmu meradang,
Kesakitan,
Dan selalu saja mempecundangimu, dengan cara seperti itu.
Sulit memang jika Tuhan sudah punya keinginan,
Dia tak pernah bisa bersabar lebih sebentar untuk merayumu agar pulang, dan sukar bagimu untuk menang pada tiap kenyataan.
Saat kau berurusan dengan takdir, karena takdir sama sekali tak bisa menunggu. Kau hanya bisa duduk manis menerimanya, di ranjang kejam paling angkuh selama berhari-hari. Dipaksa merasakannya, dan bayangkau sangat sadar, kalau kau tak mampu mengubah apapun didalamnya.
Takdir hanya bisa memberimu pesan, bahwa dunia bukanlah tempat yang kau tuju kembali, dimana semua keinginan bisa terwujud.
Inilah Tuhan, sang maha pengasih, lagi maha penyayang, tapi disatu sisi, Dia terbukti maha kuat. Saking kuatnya, hanya dalam hitungan detik, dia bisa membuatmu tersungkur, jatuh kedalam jurang kepedihan, mencabik sedikit demi sedikit dinding-dinding jiwamu, merobek tiap menit jantungmu, kekuasaanmu, kebesaran namamu, yang semakin lama semakin terlihat ringkih.
Melanjutkan hidup, tentu saja, karena memang hidup pasti akan berlanjut dengan sendirinya. Hanya saja, hidup ini tak cukup hanya sekedar untuk dilanjutkan dari dunia, tapi juga patut dirayakan meski perayaan kadang di balut dengan duka.
Dan kepergianmu, membuat segalanya menjadi sulit, dan kerap kali membuat mereka bertanya, bagaimana caranya merayakan hidup, saat kau berada dititik ini, titik dimana Tuhan telah membuat kita bermandi jarak, berpeluh sepi, dan terus terbenam dalam kekosongan.
Dalam sesaat pelukan malaikat, lalu kini kau ku lepas pergi, sementara kami disini masih ingin selalu menari. Sialnya, hidup harus terus berjalan, bergerak dan terus melaju dengan congkaknya. Dan kini, kami pun terpaksa harus sekarat dihadapan kenyataan, kau pergi meninggalkan luka yang membekas.
Selamat jalan teman, semoga hal-hal baik menyinggapimu di dunia yang baru.