Sunday, July 11, 2021

Sepucuk surat untuk Ibuku, di surga.

 

Selasa sendu di waktu mau subuh
pukul tiga, kulihat sesosok ibu yang aku cinta terbaring lemah dan terbujur kaku di kasur itu.
Badan nya memucat, menunjukkan warna kebiruan di ujung jari telapak kedua tangan nya. Nafas nya sudah tersengal, aku berusaha menolong memasukan jari kedalam rongga mulutnya, menarik lidah agar nafas bisa berjalan lancar sambil mengucapkan 2 kalimat syahadat dan menunggu pertolongan orang yang katanya hebat datang.

Pukul 04.00, ibu sudah tiada. kita semua kehilangan, salah satu sosok yang paling amat kita sayang.

Aku teringat semua, isi kepalaku seperti memutar kembali kebeberapa tahun belakangan, ibu selalu berusaha memberikan yang terbaik untuk kami, untuk semuanya. Aku ingat betul, ketika ibu memarahi teman ku, ketika aku jatuh bermain dengan nya.

Kini, aku tak bisa lagi melihat senyuman nyata nya. Aku hanya bisa melihat video-video dan voicenote yang pernah ibu kirim padaku, bu sesungguhnya aku benar-benar dalam patah hati sebenarnya bu.

Bau tanah ini bu, masyaallah.. aku seperti teringat akan suatu kejadian, dimana aku kecil dengan badan tertidur pulas hingga lepas segala lelah.. lalu tiba-tiba aku tersadar pagi harinya di kamar, padahal waktu semalam aku asyik menonton sampai ketiduran.

Bau tanah ini bu, masyaallah.. aku seperti teringat akan suatu kejadian, dimana aku kecil dengan kaki giat berlari saat mendengar dentuman adzan ditempat ibadah, didekat tempat kita dulu bersinggah.

Bau tanah ini bu, masyaallah.. aku seperti teringat akan suatu  kejadian, dimana aku kecil dengan badan tergeletak lunglai dipelukmu.

Bu, kini bau tanah menjadi suatu kenangan yang menikam batin. aku bernafas tak seperti inginmu bu, aku menjilati kebodohan dan hidup dalam kemauanku.

Bu, bau tanah ini, masyaallah.. aku ingin tersungkur bersujud di kakimu, hingga tuntas segala lelahku. Hingga musnah segala perihku, hingga kering semua luka, hingga pupus dan terbakar segala, nestapa.

Bu, setiap mencium bau tanah ini.. aku menikam diri dan merancang kalimat doa, agar Tuhan mengijabah segala inginku.

Bau tanah ini bu, aku hidup yang mati dan mati dalam keadaan hidup.. bu, aku rindu.

Kau memang telah pergi bu, tapi tak seberapa jauh, kita hanya terpaut ruang dan dimensi, yang sebenarnya tak lebih jauh dari pelupuk mataku. Konon, keindahan itu hanya bisa terlihat saat kau terpejam. Jadi, kapanpun aku membutuhkanmu, aku hanya perlu memejamkan mata sejenak, menghirup nafas panjang, dan seketika itu pula, kau hadir dengan sejuta senyum yang begitu menenangkan.


Wahai seluruh perih, datanglah kalian malam ini, masuklah kedalam sini, koyak habis seluruh jiwa yang tersisa, karena bukan kepadamu aku menyerah. Dan saat kalian telah selesai, saat itulah aku akan bangun, untuk segera mengecup mimpi-mimpi.


Bu, saya sudah ikhlas, begitupun dengan kakak dan adik adik, serta ayah. Bu, sekarang izinkan lah kami semua bersama-sama menempuh ujian yang amat sulit ini bersama. Bu, jangan lupa doakan kami semua agar bisa survive di masa ini (walaupun katanya, ketika kita ditinggal Ibu, maka 1 pintu doa ketutup) tapi aku yakin, ibu mendengar disana. Kita juga tak akan lupakan ibu, kita akan terus kirim doang kepada ibu, agar diterima disisi- Nya. 


Bu, doain ayah biar cepat sembuh yaa, mungkin selain aku, ayah adalah orang yang paling ambruk ketika mendengar ibu telah tiada. 


Alfatihah, untuk ibu ku ku

Maka, kau harus Maluku untuk mencintaiku

 Oleh temanku, Rahmat Hidayat Madubun (Sombanussa) Pagi ketika aku terbangun, ketika pintu terbuka,jendela terbuka, aku masih tekun merindui...