Thursday, September 10, 2020

Menyederhanakan kembali pikiran

Pagi itu aku masih sama, masih sulit untuk melupakan semua yang terjadi kemarin, masih sulit untuk berdamai dengan perasaanku sendiri, masih sulit untuk menerima kenyataan bahwa semuanya tak lagi sama.


Setelah kamu mengucapkan salam perpisahan saat malam itu, pagi itu aku meracau, membebani punggung ku dengan segala kekacauan, hingga aku berfikir bahwa saat ini mungkin memang seharusnya yang tinggal hanya aku sendiri, dengan sejumlah bumbu bumbu parfum terakhir mu yang tertinggal di jaket itu.


Pagi itu aku masih sama, mencoba untuk mengulang rekaman yang kau buat dengan nya pada saat itu, hingga saatnya aku tersadar bahwa segelas kopi ku kini sudah terasa dingin karena beberapa jam aku tinggal untuk meracau kenangan semu itu


Pagi itu aku masih sama, mencoba kembali diam, lalu memutar kembali kenangan kita yang dulu pernah ada, tapi lagi lagi kenangan yang pahit akan selalu hadir dengan sendirinya untuk mencoba memperlihatkan kepada ku saat itu


Mungkin aku hanyalah sebuah tanah yang basah ketika hujan telah reda, akan menimbulkan bau yang sangat khas


Dan kamu,


Ibarat hujan, kamu awan mendung , dia pelangi nya , dua sisi yg berhubungan tapi tak pernah bisa datang bersamaan namun kini keduanya bisa dibilang proses yang signifikan 



Kini tugas ku, Menyederhanakan kembali pikiran adalah satu-satunya jalan agar tidak kembali pada kekeliruan.


Thursday, September 3, 2020

Yang berkata "Aku takut kehilangan mu" pada akhirnya, pergi juga

Gula-gula dari sakuku mungkin tak cukup mentol dibanding permenmu hingga kau menolak, tapi kuyakin brondong jagung karamel kesukaanku lebih nikmat dibanding keripik kentang vetsinmu, atau tak ada yang lebih menyehatkan daripada air putih yang kugenggam dibanding minuman lemon olahan yang kau pesan.

Lalu lampu padam menandakan pertujukan teater akan dimulai. Aku tak tahu kita sedang menonton apa, tapi yang pasti kepalaku memutar segalanya tentangmu kala itu.

Pertunjukan usai, seperti biasa kita tak tahu entah ke mana lagi untuk sekadar melewati hari agar tetap bersama. Katamu, bagaimana kalau kita mengitari Jakarta dengan kendaraan umum dan ternyata itu bukan ide yang buruk, hujan di luar jendela dan pendingin kendaraan yang terasa gigil tapi perasaan di hati masing-masing dari kita, tak kah kau rasa begitu hangat.

Suatu hari, kita akan sama-sama lupa tentang hari itu. Hari di mana cinta tak hanya cukup dirasa tapi juga harus dikata.
Aku suka rumah tapi tak menolak penginapan.
Di lain hari selain jariku, tidak ada yang rela kotor mengerik punggungmu setabah aku, merawat luka dan keluhmu sesadar aku, sekalipun kawan-kawanmu yang selalu kau banggakan itu yang jika kau sakit saja tak ada satupun yang berkesempatan mengunjungimu.


Setelah peluhku jatuh, mengapa ku kau punggungi.
Lalu aku mulai membencimu dan hal-hal sementara lainnya.
Sekalipun waktu bisa dibeli, Tuhan.. aku ingin tetap begini, cukup hatiku yang hancur tapi tidak dengan keadaan.

 

Maka, kau harus Maluku untuk mencintaiku

 Oleh temanku, Rahmat Hidayat Madubun (Sombanussa) Pagi ketika aku terbangun, ketika pintu terbuka,jendela terbuka, aku masih tekun merindui...